Jumat, 31 Agustus 2012

Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur


PERISTIWA TUTUR DAN TINDAK TUTUR

      A.    Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur (inggris: speech event) adalah terjadinya interaksi linguistik dalan suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu. Jadi interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di
pasar pada waktu tertentu mengunakan  bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Bagaimana percakapan di bus kota atau sedang di kereta api yang terjadi di antara penumpang yang tidak saling kenal (pada mulanya) dengan topik pembicaraan tidak menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti, apakah dapat juga di sebut sebagai peristiwa tutur? Secara sosiolinguistik percakapan tersebut  tidak dapat dikatakan  sebagai peristiwa tutur, sebab pokok percakapan tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan dilakukan oleh orang-orang yang tidak segaja untuk bercakap-cakap, dan mengunakan ragam bahasa yang berganti-ganti. Sebuah percakapan baru dapat di sebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang disebutkan di atas. Atau seperti dikatakan oleh Dell Hymes (1972), bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertanyaan di rangkaikan menjadi akronim speaking. Kedelapan komponen itu adalah ( diangkat dari Wadhaugh 1990):
S = setting and Scene
P = participants
E = ends: purpose and goals
A = act sequence
K = key: tone or spirit of act
I = instrumentalities
N = norms of interactions and interpretation
G = genres

 Setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan variasi bahasa yang berbeda.berbicara di lapangan sepakbola pada waktu ada pertandingan sepakbola dalam situasi ramai Anda bisa berbicara keras-keras, berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca, Anda harus berbicara seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang bercakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orangtuanya atau gurunya, bila dibandingkan kalau dia berbicara terhadap teman-temannya.
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Namun, para partisipan dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.
Keys, mengacu pada nada, cara, dan semangat, di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Bentuk ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register.
Norm or interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan betapa kompleksnya peristiwa tutur yang yang telah terlihat, atau dialami sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari.


B.     Tindak Tutur
Peristiwa tutur yang kita bicarakan di atas merupakan peristiwa sosial menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (speech act) yang terorganisasikan  untuk menjadi suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwa, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan  dalam tuturannya. Tindak tutur dalam peristiwa tutur merupakan dua gejala yang dapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Unuversitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian di kemukakan oleh J.O Urmson (1965) dengan judul How to do thing with word? Tetapi teori tersebut baru terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech act and essay in the philosophy of language.

Menurut tata bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat yaitu:
1.      Kalimat deklaratif, adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak ada tindakan lain selain mendengarkan saja, sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja.
2.      Kalimat introgatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat memberi jawaban secara lisan, jadi yang diminta bukan sekedar perhatian, melainkan juga jawaban.
3.      Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.

Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, introgatif, dan imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat itu secara terlepas, artinya kalimat dilihat atau di pandang sebagai satu bentu keutuhan tertinggi. Kalau kalimat atau kalimat-kalimat itu di pandang dan tataran lebih tinggi, yakni dari tingkat wacana, maka kalimat-kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama antara bentuk formalnya dengan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pertanyaan dan pertanyaan, tetapi menjadi berisi perintah. Misalnya, seorang dosen ketika kuliah berlangsung dan merasa hawa di ruang itu terlalu panas berkata pada mahasiswinya, “Ruangan ini panas sekali”, atau berkata lain “Apakah saudara-saudara tidak merasa panas di ruangan ini?”. Dari bentuk formalnya, kalimat pertama adalah sebuah kalimat deklaratif tetapi isinya bukan hanya berisi informasi pertanyaan, melainkan “perintah untuk membuka jendela atau menghidupkan kipas. Begitu juga kalimat kedua, di lihat dari bentuk formalnya adalah sebuah kalimat interogatif, namun isinya  bukan hanya meminta jawaban “ya” atau “tidak” dari pendengarnya melainkan permintaan atau perintah untuk membuka jendela atau menghidupkan kipas angin. Memang sang dosen bisa saja menyuruh langsung dengan mengunakan kalimat imperatif seperti “Bukalah jendela itu!,” atau “Tolang hidupkan kipas angin itu!” tetapi dengan mempertimbangkan norma sosial dan etika tutur, maka tidak dilakukan demikian. Jadi bukan kalimat imperatif yang di anjurkan, melainkan kalimat deklarati atau kalimat interogatif.
Austin (1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif, yang di maksud dengan kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi peryataan berkala, seperti “Ibu dosen kami cantik sekali”, atau “Pagi tadi dia terlambat bangun”. Sedangkan yang di maksud dengan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya, apa yang di ucapkan oleh si pengujar berisi apa mengucap bismillah acara lomba baca puisi ini saya buka”, maka makna kalimat itu adalah apa yang di ucapkannya. Atau dengan kata lain, apa yang dilakukan itu adalah apa yang di ucapkannya. Jumlah kalimat performatif dalam suatu bahasa secara relatif memang tidak banyak; jauh lebih banyak konstatif.
Kalimat performatif mempunyai pola dan norma tertentu. Kalimat itu biasanya dimulai dengan frase, “Dengan ini...”, dan sebagainya. Jadi rektor yang di minta membuka lomba baca puisi tidak mungkin mengatakan, “Nah, saudara-saudara hadirin, marilah lomba baca puisi ini kita buka, yang saya tandai dengan pemukulan gong”, sebuah kalimat performatif harus memenuhi persyaratan, antara lain adalah:
1.      Ucapan harus dilakukan oleh orang tertentu yang di tunjuk, atau berwenang dalam satu situasi resmi.
2.      Urutan peristiwa sudah baku.
3.      Yang hadir dalam upacara tersebut harus turut serta.
4.      Upacaranya harus dilakukan secara lengkap.

 Kalimat performatif ini lazim digunakan dalam upacara pernikahan, perceraian, kelahiran, kematian, keagamaan, kenegaraan, kemiliteran, peresmian seminar dan sebagainya. Dalam pengucapan kalimat-kalimat performatif biasanya di tunjang oleh tindakan atau perilaku yang nonlinguistik, seperti pemukulan gong, pengetukan palu dan lain sebagainya.
Kalimat performatif dapat digunakan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit, artinya dengan menghindarkan kata-kata yang mengacu kepada pelaku, seperti saya atau kami. Umpamanya, “Saya berjanji akan mengirimkan uang itu secepatnya”; “Kami minta maaf atas keterlambatan pembanyaran hutang itu”; dan ‘saya peringatkan, kalau anda sering bolos, ada tidak boleh ikut ujian!”. Sedangkan kalimat performatif yang implisit adalah  yang tanpa menghindarkan kata-kata yang menyatakan pelaku. Misalnya, “jalan ditutup” yang secara implisit memperingatkan untuk tidak melewati jalan itu); “ada perbaikan jalan” (yang secara implisit meminta agar kita tidak gaduh). Di balik kalimat-kalimat performatif yang implisit itu tertunya ada pihak yang meminta agar kita melakukan apa yang di mintanya.

Austin (1962:150-163) membagi kalimat performatif menjadi lima kategori yaitu:
1.      Kalimat verdiktif, yakni kalimat  pelakunya yang menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya, “Kami menyatakan terdakwa bersalah”.
2.      Kalimat eksersitif, yakni kalimat yang pelakunya yang menyatakan perjanjian, nasihat, perigatan dan sebagainya, misalnya, “Kami harap kalian setiju dengan keputusan ini”
3.      Kalimat komisif, adalah kalimat perlakuan yang dicirikan dengan perjanjian, pembicara berjanji dengan Anda untuk melakukan sesuatu, misalnya, “Besok kita menonton sepak bola”
4.      Kalimat behatitif adalah kalimat pelakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, “Saya mengucapkan atas pelantikan anda menjadi mahasiswa teladan”
5.      Kalimat ekspositif adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan, atau perincian kepada seseorang, misalnya, “Saya jelaskan kepada anda bahwa dia tidak bersalah”.

Tindak tutur yang berlangsung dengan kalimat performatif oleh  Austin (1962: 100-102) di rumuskan sebagai tiga peristiwa tidakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1.      Tindak tutur lokusi, adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam kalimat yang bermakna dan dapat di pahami. Misalnya, “Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2.      Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasa didentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit, biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan salam terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya, “Ibu guru menyuruh saya  agar segera berangkat”. Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna.
3.      Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain itu. Misalnya, karena adanya ucapan dokter kepada pasiennya, “Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan bersedih. Ucapan si dokter itu adalah tindak tutur perlokusi.

Dalam suatu peristiwa tutur  peran penutur dan pendengar dapat berganti-ganti. Pihak yang tadinya menjadi pendengar sesudah mendengar dan memahami ujaran yang di ucapkan oleh penutur akan segera bereaksi melakukan tindak tutur, sebagai pembicara atau penutur. Sebaliknya, yang tadinya berperan sebagai pembicara atau penutur berubah kini menjadi pendengar, maka Searle (1965) melihat tindak tutur dari pendengar. Jadi searle berusaha melihat bagai mana nilai ilokusi itu di tangkap dan dipahami oleh pendengar.
Searle melihat tindak tutur  dari sudut pandang pendengar, mengapa? Beliau berkesimpulan, tujuan pembicara sukar di teliti; sedangkan interprestasi lawan bicara atau pendengar mudah dilihat dari reaksi-reaksi yang diberikan terhadap ucapan-ucapan pembicara.

Contoh:
a.       Apakah anda dapat berangkat sekarang?
b.      Apakah anda akan berangkat sekarang?
c.       Saya ingin anda segera pergi dari sini.
d.      Apakah anda bersedia pergi sekarang juga?
e.       Kalau anda berangkat sekarang, saya dapat melakukan pekerjaan ini.
f.       Bolehkah saya meminta segelas air putuh?

Menurut tafsiran pendengar, kalimat (a) mengacu pada dapat atau tindaknya pendengar melakukan perbuatan yang di tanyakan penutur. (b) mengacu pada perbuatan yang akan dilakukan pendengar. (c) mengacu kepada keinginan si pembicara terhadap sesuatu yang harus dilakukan pendengar. (d) mengacu pada kesediaan pendengar untuk melakukan perbuatan yang diminta penutur. (e)  mengacu pada alasan bagi si penutur untuk melakukan suatu perbuatan, sedangkan kalimat (f) mengacu kepada kesopan santunan si penutur dalam meminta pendengar untuk melakukan perbuatan. Kalau di lihat dari segi penutur, yang tidak bisa kita analisis itu mungkin yang keenam saja, karena bermakna tidak seperti yang di tapsirkan, melainkan mengajak atau menggusir.
Dari keenam conto kalimat tindak tutur yang dicoba dianalisis maknanya dari pihak pendengar dapat juga di tarik kesimpulan bahwa tindak tutur yang di sebut ilokusi menghasilkan bentuk-bentuk yang mencerminkan keinginan dan sikap si penutur terhadap si pendengar, sedangkan tindak tutur perlokusi mencerminkan reaksi atau ujaran terhadap si pendengar.
Kalau dilihat dari konteks situasinya ada dua macam tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tidak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung mudah di pahami oleh si pendengar kerena ujarannya berupa kalimat kalimat dengan makna lugas, sedangkan tindak tutur tak langsung hanya dapat di pahami oleh si pendengar yang sudah cukuup terlatih dalam memahami kalimat-kalimat yang bermakna konteks situasional.

Tindak tutur langsung
Tempat            : ruang kelas ketika pelajaran berlangsung
Guru                : ketua kelas tolong ambilkan kapur tulis lagi!
Ketua kelas     : baik, pak, segera saya ambilkan?
Tindak tutur tidak langsung
Tempat            : ruang kelas ketika pelajaran berlangsung
Guru                : kaput tulisnya habis, ya?
Ketua kelas     : baik, pak, segera saya ambilkan!
Pada contoh pertama, jelas sang guru meminta di ambilkan kapur tulis kepada ketua kelas, tetapi pada contoh ke dua, sang guru tidak meminta diambilkan kapur barus itu. Namun, sang ketua kelas dapat menafsirkan kalimat introgatif itu sebagai kalimat perintah atau mengambil kapur tulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar