PERISTIWA TUTUR
DAN TINDAK TUTUR
A. Peristiwa Tutur
Peristiwa
tutur (inggris: speech event) adalah terjadinya interaksi linguistik dalan
suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan
lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi
tertentu. Jadi interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli
di
pasar pada waktu tertentu mengunakan
bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.
Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat
dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Bagaimana
percakapan di bus kota atau sedang di kereta api yang terjadi di antara
penumpang yang tidak saling kenal (pada mulanya) dengan topik pembicaraan tidak
menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti, apakah dapat
juga di sebut sebagai peristiwa tutur? Secara sosiolinguistik percakapan
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai peristiwa tutur, sebab pokok
percakapan tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan
dilakukan oleh orang-orang yang tidak segaja untuk bercakap-cakap, dan
mengunakan ragam bahasa yang berganti-ganti. Sebuah percakapan baru dapat di
sebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang
disebutkan di atas. Atau seperti dikatakan oleh Dell Hymes (1972), bahwa suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf
pertanyaan di rangkaikan menjadi akronim speaking. Kedelapan komponen itu
adalah ( diangkat dari Wadhaugh 1990):
S
= setting and Scene
P
= participants
E
= ends: purpose and goals
A
= act sequence
K
= key: tone or spirit of act
I
= instrumentalities
N
= norms of interactions and interpretation
G
= genres
Participants
adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan
pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang
bercakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi dalam
khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak
dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa
yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa
yang berbeda bila berbicara dengan orangtuanya atau gurunya, bila dibandingkan
kalau dia berbicara terhadap teman-temannya.
Ends,
merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di
ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Namun, para
partisipan dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin
membuktikan kesalahan terdakwa, pembela membuktikan bahwa terdakwa tidak
bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.
Keys,
mengacu pada nada, cara, dan semangat, di mana suatu pesan disampaikan dengan
senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek,
dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities,
mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis,
melalui telegraf atau telepon. Bentuk ini juga mengacu pada kode ujaran yang
digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register.
Norm
or interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya,
dan mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genre,
mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan
sebagainya.
Berdasarkan
keterangan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan betapa kompleksnya
peristiwa tutur yang yang telah terlihat, atau dialami sendiri dalam kehidupan
kita sehari-hari.
B.
Tindak
Tutur
Peristiwa
tutur yang kita bicarakan di atas merupakan peristiwa sosial menyangkut
pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa
tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (speech
act) yang terorganisasikan untuk menjadi
suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di
atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan
peristiwa, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti
tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur
dalam peristiwa tutur merupakan dua gejala yang dapat pada satu proses, yakni
proses komunikasi.
Istilah
dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin,
seorang guru besar di Unuversitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal
dari materi kuliah itu kemudian di kemukakan oleh J.O Urmson (1965) dengan
judul How to do thing with word? Tetapi teori tersebut baru terkenal dalam
studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech act and
essay in the philosophy of language.
Menurut tata
bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat yaitu:
1.
Kalimat deklaratif, adalah kalimat yang isinya
hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian
saja, tidak ada tindakan lain selain mendengarkan saja, sebab maksud si
pengujar hanya untuk memberitahukan saja.
2.
Kalimat introgatif adalah kalimat yang isinya
meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat memberi jawaban secara
lisan, jadi yang diminta bukan sekedar perhatian, melainkan juga jawaban.
3.
Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang
isinya meminta agar si pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi
tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Pembagian
kalimat atas kalimat deklaratif, introgatif, dan imperatif adalah berdasarkan
bentuk kalimat itu secara terlepas, artinya kalimat dilihat atau di pandang
sebagai satu bentu keutuhan tertinggi. Kalau kalimat atau kalimat-kalimat itu
di pandang dan tataran lebih tinggi, yakni dari tingkat wacana, maka
kalimat-kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama antara bentuk formalnya
dengan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat
interogatif tidak lagi berisi pertanyaan dan pertanyaan, tetapi menjadi berisi
perintah. Misalnya, seorang dosen ketika kuliah berlangsung dan merasa hawa di
ruang itu terlalu panas berkata pada mahasiswinya, “Ruangan ini panas sekali”,
atau berkata lain “Apakah saudara-saudara tidak merasa panas di ruangan ini?”.
Dari bentuk formalnya, kalimat pertama adalah sebuah kalimat deklaratif tetapi
isinya bukan hanya berisi informasi pertanyaan, melainkan “perintah untuk
membuka jendela atau menghidupkan kipas. Begitu juga kalimat kedua, di lihat
dari bentuk formalnya adalah sebuah kalimat interogatif, namun isinya bukan hanya meminta jawaban “ya” atau “tidak”
dari pendengarnya melainkan permintaan atau perintah untuk membuka jendela atau
menghidupkan kipas angin. Memang sang dosen bisa saja menyuruh langsung dengan
mengunakan kalimat imperatif seperti “Bukalah jendela itu!,” atau “Tolang
hidupkan kipas angin itu!” tetapi dengan mempertimbangkan norma sosial dan
etika tutur, maka tidak dilakukan demikian. Jadi bukan kalimat imperatif yang
di anjurkan, melainkan kalimat deklarati atau kalimat interogatif.
Austin
(1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat
konstatif dan kalimat performatif, yang di maksud dengan kalimat konstatif
adalah kalimat yang berisi peryataan berkala, seperti “Ibu dosen kami cantik
sekali”, atau “Pagi tadi dia terlambat bangun”. Sedangkan yang di maksud dengan
kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya, apa yang di
ucapkan oleh si pengujar berisi apa mengucap bismillah acara lomba baca puisi
ini saya buka”, maka makna kalimat itu adalah apa yang di ucapkannya. Atau
dengan kata lain, apa yang dilakukan itu adalah apa yang di ucapkannya. Jumlah
kalimat performatif dalam suatu bahasa secara relatif memang tidak banyak; jauh
lebih banyak konstatif.
Kalimat
performatif mempunyai pola dan norma tertentu. Kalimat itu biasanya dimulai
dengan frase, “Dengan ini...”, dan sebagainya. Jadi rektor yang di minta
membuka lomba baca puisi tidak mungkin mengatakan, “Nah, saudara-saudara
hadirin, marilah lomba baca puisi ini kita buka, yang saya tandai dengan
pemukulan gong”, sebuah kalimat performatif harus memenuhi persyaratan, antara
lain adalah:
1.
Ucapan harus dilakukan oleh orang tertentu yang
di tunjuk, atau berwenang dalam satu situasi resmi.
2.
Urutan peristiwa sudah baku.
3.
Yang hadir dalam upacara tersebut harus turut
serta.
4.
Upacaranya harus dilakukan secara lengkap.
Kalimat
performatif dapat digunakan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara
eksplisit, artinya dengan menghindarkan kata-kata yang mengacu kepada pelaku,
seperti saya atau kami. Umpamanya, “Saya berjanji akan mengirimkan uang itu
secepatnya”; “Kami minta maaf atas keterlambatan pembanyaran hutang itu”; dan
‘saya peringatkan, kalau anda sering bolos, ada tidak boleh ikut ujian!”.
Sedangkan kalimat performatif yang implisit adalah yang tanpa menghindarkan kata-kata yang
menyatakan pelaku. Misalnya, “jalan ditutup” yang secara implisit
memperingatkan untuk tidak melewati jalan itu); “ada perbaikan jalan” (yang
secara implisit meminta agar kita tidak gaduh). Di balik kalimat-kalimat
performatif yang implisit itu tertunya ada pihak yang meminta agar kita
melakukan apa yang di mintanya.
Austin
(1962:150-163) membagi kalimat performatif menjadi lima kategori yaitu:
1. Kalimat
verdiktif, yakni kalimat pelakunya yang
menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya, “Kami menyatakan terdakwa
bersalah”.
2. Kalimat
eksersitif, yakni kalimat yang pelakunya yang menyatakan perjanjian, nasihat,
perigatan dan sebagainya, misalnya, “Kami harap kalian setiju dengan keputusan
ini”
3. Kalimat
komisif, adalah kalimat perlakuan yang dicirikan dengan perjanjian, pembicara
berjanji dengan Anda untuk melakukan sesuatu, misalnya, “Besok kita menonton
sepak bola”
4. Kalimat
behatitif adalah kalimat pelakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial
karena seorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, “Saya
mengucapkan atas pelantikan anda menjadi mahasiswa teladan”
5. Kalimat
ekspositif adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan, atau
perincian kepada seseorang, misalnya, “Saya jelaskan kepada anda bahwa dia
tidak bersalah”.
Tindak
tutur yang berlangsung dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-102) di rumuskan sebagai
tiga peristiwa tidakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1. Tindak
tutur lokusi, adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”
atau tindak tutur dalam kalimat yang bermakna dan dapat di pahami. Misalnya,
“Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2. Tindak
tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasa didentifikasikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit, biasanya berkenaan dengan pemberian izin,
mengucapkan salam terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan.
Misalnya, “Ibu guru menyuruh saya agar
segera berangkat”. Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna.
3. Tindak
tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang
lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain itu.
Misalnya, karena adanya ucapan dokter kepada pasiennya, “Mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan bersedih. Ucapan si
dokter itu adalah tindak tutur perlokusi.
Dalam
suatu peristiwa tutur peran penutur dan
pendengar dapat berganti-ganti. Pihak yang tadinya menjadi pendengar sesudah
mendengar dan memahami ujaran yang di ucapkan oleh penutur akan segera bereaksi
melakukan tindak tutur, sebagai pembicara atau penutur. Sebaliknya, yang
tadinya berperan sebagai pembicara atau penutur berubah kini menjadi pendengar,
maka Searle (1965) melihat tindak tutur dari pendengar. Jadi searle berusaha
melihat bagai mana nilai ilokusi itu di tangkap dan dipahami oleh pendengar.
Searle
melihat tindak tutur dari sudut pandang
pendengar, mengapa? Beliau berkesimpulan, tujuan pembicara sukar di teliti;
sedangkan interprestasi lawan bicara atau pendengar mudah dilihat dari
reaksi-reaksi yang diberikan terhadap ucapan-ucapan pembicara.
Contoh:
a. Apakah
anda dapat berangkat sekarang?
b. Apakah
anda akan berangkat sekarang?
c. Saya
ingin anda segera pergi dari sini.
d. Apakah
anda bersedia pergi sekarang juga?
e. Kalau
anda berangkat sekarang, saya dapat melakukan pekerjaan ini.
f. Bolehkah
saya meminta segelas air putuh?
Menurut
tafsiran pendengar, kalimat (a) mengacu pada dapat atau tindaknya pendengar
melakukan perbuatan yang di tanyakan penutur. (b) mengacu pada perbuatan yang
akan dilakukan pendengar. (c) mengacu kepada keinginan si pembicara terhadap
sesuatu yang harus dilakukan pendengar. (d) mengacu pada kesediaan pendengar
untuk melakukan perbuatan yang diminta penutur. (e) mengacu pada alasan bagi si penutur untuk
melakukan suatu perbuatan, sedangkan kalimat (f) mengacu kepada kesopan
santunan si penutur dalam meminta pendengar untuk melakukan perbuatan. Kalau di
lihat dari segi penutur, yang tidak bisa kita analisis itu mungkin yang keenam
saja, karena bermakna tidak seperti yang di tapsirkan, melainkan mengajak atau
menggusir.
Dari
keenam conto kalimat tindak tutur yang dicoba dianalisis maknanya dari pihak
pendengar dapat juga di tarik kesimpulan bahwa tindak tutur yang di sebut
ilokusi menghasilkan bentuk-bentuk yang mencerminkan keinginan dan sikap si
penutur terhadap si pendengar, sedangkan tindak tutur perlokusi mencerminkan
reaksi atau ujaran terhadap si pendengar.
Kalau
dilihat dari konteks situasinya ada dua macam tindak tutur, yaitu tindak tutur
langsung dan tidak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung mudah di pahami
oleh si pendengar kerena ujarannya berupa kalimat kalimat dengan makna lugas,
sedangkan tindak tutur tak langsung hanya dapat di pahami oleh si pendengar
yang sudah cukuup terlatih dalam memahami kalimat-kalimat yang bermakna konteks
situasional.
Tindak tutur
langsung
Tempat : ruang kelas ketika pelajaran
berlangsung
Guru : ketua kelas tolong ambilkan
kapur tulis lagi!
Ketua
kelas : baik, pak, segera saya
ambilkan?
Tindak tutur tidak
langsung
Tempat : ruang kelas ketika pelajaran
berlangsung
Guru : kaput tulisnya habis, ya?
Ketua
kelas : baik, pak, segera saya
ambilkan!
Pada
contoh pertama, jelas sang guru meminta di ambilkan kapur tulis kepada ketua
kelas, tetapi pada contoh ke dua, sang guru tidak meminta diambilkan kapur
barus itu. Namun, sang ketua kelas dapat menafsirkan kalimat introgatif itu
sebagai kalimat perintah atau mengambil kapur tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar